Senin, 08 Oktober 2012

Makna Sholat


Ikhwani fillah rahmatullah ‘alaikum, pada kesempatan kali ini saya akan memposting makalah yang berkenaan dengan Ibadah. Makalah ini sudah cukup lama sebenarnya, sekitar 1 tahun lebih. Makalah ini dipresentasikan dalam mata kuliah fiqih, yang saat itu dibimbing oleh Bapak Hasbullah, M. Ag. Dan saya posting disini dalam bentuk artikel panjan karena menurut saya masih layak dan relevan. Jika ada hal yang keliru, saya sangat senang jika ada yang berkenan untuk memluruskan dan share ilmunya. Saya jika tidak menolak jika ada yang memberikan kritik dan saran, insyaAllah saya akan mencoba merenungkan setiap masukan dari sahabat-sahabat sekalian. Akhirnya saya berharap, semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi saya sendiri. Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Pendahuluan
Jika kita bertanya apa tujuan dari hidup ini?, maka jawabannya dapat kita lihat dalam firman Allah dalam al-Qur’an al-Karim.
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Asz-Dzariyat: 56)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas bahwa manusia –beserta jin— sebagai makhluk diciptakan tidak lain hanya unutk beribadah kepada Allah SWT.
Maka, sangatlah penting bagi kita memahami apa sebenarnya Ibadah itu dan segala hal yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu pula, penulias melalui makalah ini mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai ibadah dan masalah yang berkaitan dengannya.
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan mengenai permasalahan seputar ibadah, yang mana penulis menjadikan silabus mata kuliah Fiqih sebagai rumusan masalah. Permasalahan tersebut adalah:
1.     Apa pengertian ibadah?
2.     Apa hakikat ibadah?
3.     Apa saja klasifikasi ibadah?
4.     Apa syarat diterimanya sebuah ibadah?
1.     Pengertian Ibadah
Secara bahasa (etimologi), kata-kata عُبُودَة، عُبُودِيَّة، عَبْدِيَّة (‘Abdiyah, ‘Ubudiyah, ‘Ubudah) dalam bahasa Arab, adalah Kepatuhan. Iaitu menyerah dan pasrah kepada pihak lain hingga dapat dipergunakan dengan mudah dan menurut kehendak pihak tersebut.[1]
Dalam Mukhtarus Shihhah, ibadah diartiakan dengan tunduk dan patuh.  Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definsi itu antara lain adalah:
1.    Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2.    Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3.    Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.[2]
Hal ini senada dengan definisi yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut beliau, Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).[3]
Dari definisi diatas terlihat bahwa ibadah mencakup semua amal yang kita lakukan, baik itu amal hati maupun amal perbuatan yang dibatasi oleh dengan perintah dan larangan Allah.
1.     Hakikat Ibadah
Abul A’la al-Maududi memberikan penjelasan yang sangat gamblang di dalam buku Dasar-Dasar Islammengenai apa sebenarnya ibadah itu. Beliau menuliskan:
Ibadah yang sebenarnya ialah bahwa anda mengikuti aturan dan hukum Tuhan dalam hidup anda, dalam setiap langkah dan setiap keadaan, dan melepaskan diri anda dari ikatan setiap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah. Setiap gerakan yang anda lakukan haruslah selaras dengan garis-garis yang telah ditentukan Allah bagi anda. Setiap tindakan anda harus sesuai dengan cara yang telah ditentukan Allah. Dengan demikian, maka hidup anda yang anda tempuhi dengan cara demikian inilah yang disebut ‘ibadat. Dalam hidup yang demikian, maka tidur anda, bangun anda, makan dan minum anda, bahkan berjalan dan berbicara anda, semuanya adalah ‘ibadat.[4]
Pekerjaan-pekerjaan anda yang umumnya anda sebut sebagai pekerjaan yang bersifat duniawi, sesungguhnya semuanya adalah pekerjaan-pekerjaan keagamaan dan ‘ibadah, asalkan dalam mengerjakannya anda menjaga diri pada batas-batas yang telah ditentukan Allah, dan dalam setiap langkah selalu memperhatikan apa yang diperbolehkan Allah dan apa yang dilarangNya, apa yang halal dan apa yang haram, apa yang diwajibkan dan apa yang dilarang, perbuatan dan tindakan apa yang membuat Allah suka kepada anda dan perbuatan serta tindakan mana yang membuatNya tidak senang terhadap anda.[5]
Demikianlah, segala sesuatu yang kita lakukan sebenarnya merupakan ibadah jika kita melaksanakannya karena dilandasi harapan mendapatkan ridho Allah swt. Sehingga manusia selama hidupnya bernilai ibadah seperti dalam tujuan diciptakannya!
1.     Klasifikasi ibadah
Ibadah sebagai media mendekatkan diri kepada Allah dapat diklasifikasikan menjadi dua, sebagai berikut:
1.      Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan secara baku pelaksanaannya, baik waktu maupun cara. Seperti shalat, puasa, dan rukun islam yang lain.
2.      Ibadaqh Ghairu Mahdhah
Merupakan amal ibadah yang tidak baku, namun tetap ada syari’at yang mengaturnya. Seperti bersedekah, silaturahim, dan ibadah bersifat mu’amalah yang lain.
1.     Syarat diterimanya Ibadah
Sebuah ibadah diterima jika memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan sesuai dengan syara’. Dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan sekaligus.
Sesungguhnya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun” (QS. Al Kahfi: 110).
Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.” Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[6]
1.     Ikhlas
Banyak ummat islam yang salah dalam memahami makna dari ikhlas. Mereka menganggap ikhlas itu tidak merasa berat, nikmat ketika melaksanakan, bahkan ada yang menggambarkan ikhlas dengan sebuah analogi (maaf) seperti saat kita membuang air. Ini adalah kekeliruan. Karena ibadah tidak berdasarkan apakah kita merasa ringan atau tidak, tapi karena kesadaran kita bahwa sebuah amal itu diperintahkan oleh Allah, dan malakukannya hanya untuk mengharapkan ridho Allah semata. Jika kemudian kita merasa ringan dan nikmat menjalankan, maka itu lebih baik. Lihat misalnya firman Allah dalam masalah jihad, menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk mentaati perintahnya meskipun itu berat bagi kita.
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)
Ikhlas merupakan sebuah kata yang hampir bisa dipastikan setiap muslim pernah mendengarnya. Walau demikian, ikhlas merupakan salah satu perkara yang tergolong mudah untuk diucapkan tapi sangat sulit pada pelaksanaan.
Ar-Raghib berkata dalam kitab Mufradat, “ikhlas adalah menyingkirkan segala sesuatu selain Allah.”
Abu al-Qasim al-Qusyairi menyatakan bahwa seseorang yang ikhlas adalah yang berkeinginan untuk menegaskan hak-hak Allah dalam setiap perbuatan ketaatannya. Dengan ketaatannya itu ia ingin mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada yang lain. Ia berbuat bukan untuk makhluk, bukan untuk mendapatkan pujian dari manusia, atau sanjungan dari siapapun.
Satu-satunya yang ia harapkan hanya kedekatan kepada Allah swt.” [7]
An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah menukil dalam kitabnya At Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau mengatakan, “Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menunggalkan niatmu dalam keta’atan kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala yaitu engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain sebagainya”[8]
Jadi, ikhlas dalam beribadah berarti menjalankan sebuah amalan karena dilandasi untuk memenuhi seruan Allah kepada kita, bukan karena yang lain. Dengan pemahaman bahwa apa yang Allah perintahkan dan yang dilarang-Nya merupakan jalan bagi kita untuk bertaqarrub kepada Allah. Maka, jika ada orang yang menjalankan sebuah amal karena ingin diperhatikan orang lain, maka amalnya tertolak dan sia-sia belaka.
“dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
1.     Sesuai Syara’
Sebagaimana definisi ikhlas di atas, ibadah hanya untuk mendapatkan ridho Allah swt., sedangkan ridho Allah bersesuaian dengan apa yang telah disyari’atkan. Sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh Allah pasti tidak diridhoi oleh-Nya. Begitu pula sebaliknya, apa yang diperintahkan oleh Allah pasti akan diridhoi oleh-Nya. Maka ibadahpun harus dilandasi oleh perintah dan larangan Allah swt. Jadi, seseorang beribadah harus sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah dalam al-Qur’an maupun melalui hadist Rasulullah saw., kita tidak boleh kita melakukan sebuah ibadah dengan mengada-ada. Rasulullah saw. bersabda:
barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amaal itu tertolak.” (HR. Muslim)
Syaikh Yusuf Qardhawi, dalam buku Ibadah dalam Islam menuliskan:
Imam Ibnu Taimiyah berkata: Landasan pokok bagi agama itu ada dua, yaitu: pertama, kita tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah. Dan kedua, kita tidak beribadah kepada-Nya melainkan dengan cara yang disyari’atkan-Nya, bukan dengan cara yang dibuat manusia.[9]
Dengan demikian, niat yang ikhlas saja tidak cukup dalam melaksanakan amal agar bernilai ibadah. Namun juga harus dilihat juga apakah yang kita lakukan dibolehkan oleh syari’at atau malah dilarang?
Simpulan
Ibadah adalah setiap bentuk amal yang bersesuaian dengan perintah dan larangan Allah swt. Ibadah, sebagaimana makna harfiahnya, merupakan bentuk ketundukan kita sebagai hamba kepada Allah swt. Tentu, sebagai hamba menyadari segala kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, Allah memberikan paanduan melalui para Rasul bagaimana cara kita mendekatka diri kepada-Nya. Itulahah esensi dari diutusnya para Utusan.
Allah swt. berfirman:
dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[10] itu”. (QS. An-Nahl: 36)
Ada dua hal yang menjadi syarat sebuah ibadah itu diterima atau tidak. Apabila salah satunya tidak terpenuhi maka amal yang kita lakukan akan sia-sia belaka. Dua syarat itu adalah:
Pertama , ikhlas. Jadi, ibadah akan bernilai jika kita melaksanakannya dengan niat untuk taqarrub kepada Allah swt., bukan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari manusia.
Kedua, sesuai dengan syari’at Allah swt. Sebagai al-Khaliq yang telah menciptakan manusia, tentu hanya Allah yang tahu bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karenaya, Allah telah menurunkan seperangkat ajaran dan aturan sebagai pedoman dalam hidup agar hidup ini benar-benar menjadi ibadah seperti tujuan diciptakannya kita. Maka, wajib mengikuti ketentuan yang telah ada.



[1] Abul a’la al-Maududi, ebook: Empat Kalimah Di Dalam Al-Quran, hal. 79
[2] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam.html, diakses 3 maret 2010
[3] http://muslim.or.id/aqidah/memahami-pengertian-ibadah.html, di akses 3 maret 2010
[4] Abul a’la al-Maududi, Dasar-Dasar Islam, (versi Ebook, tp, tt), hal 74
[5] Ibid, hal 74
[6] http://buletin.muslim.or.id/manhaj/dua-syarat-diterimanya-ibadah, di akses tanggal 3 Maret 2010
[7] Umar Sulaiman al-Asyqar, Ikhlas: Memurnikan Niat, Meraih Rahmat, (versi ebook, sarambi, 2006), hal. 24
[8] http://buletin.muslim.or.id/manhaj/dua-syarat-diterimanya-ibadah, Op. cit
[9] Yusuf Qardhawi, Ibadah dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), hal. 297
[10] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah swt. (keterangan dalam Al-Qur’an Digital)
Dalam E-Book Hadits Shahih Bukhari dan Dasar-Dasar Islam, pada bagian “Penjelasan Makna Thoghut dan Para Pembelanya” tertulis kutipan dari Catatan kaki dalam kitab Fathul Majid, karangan Abdur Rohman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, cet. Darul Fikri 1399 H, hal. 287 sebagai berikut:
Syeikh Muhammad bin Hamid Al-Faqiy mengatakan tentang definisi Thoghut: “Yang dapat disimpulkan dari perkataan ulama’ salaf, bahwasanya thoghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Alloh, dan memurnikan agama dan ketaatan hanya kepada Alloh dan rosulNya saja. Sama saja apakah thoghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Alloh seperti melaksanakan hukum hudud, pangharaman riba, zina, khomer dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh undang-undang tersebut.
Dan undang-undang itu sendiri adalah thoghut, dan orang-orang yang membuat dan menyerukannya adalah thoghut. Dan hal-hal yang serupa dengan itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah thoghut.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar